LEGALITAS PERKAWINAN BEDA AGAMA  DAMPAKNYA TERHADAP  STATUS ANAK YANG DILAHIRKAN

Authors

  • Warsito Universitas Ibnu Chaldun
  • Asti Wasiska Universitas Ibnu Chaldun
  • Ahmad Faisal Universitas Ibnu Chaldun

Keywords:

Kawin Beda Agama, SEMA No. 2 Tahun 2023, Konstitusi, Undang-Undang Perkawinan

Abstract

Perkawinan beda agama saat ini sedang heboh di masyarakat karena selain bertentangan dengan konstitusi, undang-undang perkawinan juga bertentangan dengan agama dan norma kepatutan. Perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia tidak dapat dilegalkan dengan alasan Hak Asasi Manusia karena HAM tidak dapat bebas sebebas-bebasnya tetapi dibatasi oleh ketertiban umum, Undang-Undang dan norma agama. Perkawinan adalah sesuatu hal yang sakral tujuan perkawinan sebagaimana ditentukan Pasal 1 ayat (1) UU. No. 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU. No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan harapan menjadi keluarga yang Sakinah, mawaddah warahmah. Sah atau tidaknya perkawinan sudah diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU. No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. ”Larangan  Perkawinan Beda agama bagi yang beragama muslim sudah dipertegas didalam al-qur’an  Surat Al Baqarah ayat 221 yang artinya: “Janganlah  kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman.Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman”. Perkawinan dapat di ibaratkan roda kendaraan, bagaimana jika salah satu rodanya ukurannya berbeda tentu akan terjadi ketidakseimbangan dalam perjalanan. Begitu juga perkawinan yang berbeda agama yang tentu berbeda aqidahnya akan membawa permasalahan serius didalam rumah tangga sehingga mustahil tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal akan dapat terwujud. Larangan perkawinan beda agama sudah diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.68/PUU-XII/2014 majelis hakim konstitusi telah menolak Judicial Review Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa Perkawinan beda agama menurut hukum positif di Indonesia tidak bisa dilaksanakan. Atas dasar itu Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama Dan Kepercayaan. Sayangnya, SEMA ini sifatnya hanya himbauan kepada hakim agar tidak mengesahkan perkawinan beda agama, tetapi tidak ada implikasi yuridis jika SEMA tersebut tidak ditindaklanjuti. Permasalahan kawin beda agama bertambah pelik dengan adanya UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan pada Pasal 35 menyatakan Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan. Oleh karena itu, diperlukan uji materi undang-undang administrasi kependudukan tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk dibatalkan

Published

2024-04-01