MENYOAL KONSTITUSIONALITAS PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA SERTA BERBAGAI PERMASALAHANNYA
Abstract
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dipilih oleh rakyat secara langsung dimaksudkan untuk memiliki legitimasi, derajat dan akuntabilitas yang tinggi, dalam prakteknya selain diwarnai money politic, berbiaya tinggi, juga rentan adanya konflik. Pilkada secara langsung oleh rakyat, banyak pihak mengkhawatirkan akan terjadi benturan fisik secara masif, baik konflik horizontal maupun vertikal. Berpijak dari pengalaman itu berbagai kalangan perlunya mengevaluasi kelemahan dan kelebihan Pilkada secara langsung oleh rakyat. Keberadaan Otonomi Daerah sudah diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 pada bab VI tentang Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan pada perubahan kedua oleh Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, kata demokratis adalah rumusan yang bersifat multitafsir. Dalam amandemen kelima UUD 1945, MPR perlu melakukakan perubahan secara komprehensif untuk menata ulang kelembagaan Negara agar keberadaannya dapat melakukan kegiatan fungsi saling mengontrol (cheks and balances), termasuk didalamnya mempertegas pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, apakah kata demokratis itu dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui perwakilan tidak langsung oleh DPRD sebab keduanya dapat dikategorikan secara demokratis.. Hal ini penting, guna memberikan kepastian hukum, agar tidak ada lagi anggota DPR yang menafsirkan rumusan konstitusi sesuai selera kepentingannya baik secara: pribadi, kelompok, golongan dan/atau partai politiknya.