STUDI KASUS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP SECARA PIDANA
Main Article Content
Abstract
Upaya perlindungan lingkungan hidup telah diatur melalui berbagai instrumen perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini secara eksplisit memberikan ruang bagi penegakan hukum baik secara administratif, perdata, maupun pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencemaran lingkungan seringkali menghadapi kendala, mulai dari pembuktian, keterbatasan sumber daya penyidik, hingga potensi intervensi kepentingan ekonomi. Bentuk penegakan hukum pidana lingkungan hidup mencakup tiga aspek utama: penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Tahapan ini diawali dengan pelaporan atau temuan dugaan tindak pidana oleh masyarakat, organisasi lingkungan, maupun instansi terkait. Setelah itu, dilakukan penyelidikan awal untuk memastikan ada atau tidaknya peristiwa pidana. Jika cukup bukti, maka proses berlanjut ke penyidikan, termasuk pengumpulan alat bukti seperti hasil uji laboratorium, keterangan saksi, dan dokumen izin lingkungan. Pada tahap ini, penyidik lingkungan hidup yang berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan. Meskipun hukum pidana telah dijadikan salah satu instrumen utama dalam menindak pelaku pencemaran lingkungan hidup di Indonesia, implementasinya di lapangan masih dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga struktural dan kultural, yang pada akhirnya dapat menghambat proses hukum dan mengurangi efektivitas penegakan keadilan lingkungan.