KONGKALIKONG PRAKTIK PERKAWINAN CAMPURAN (JENIS PERKAWINAN ANTAR AGAMA) DALAM MASYARAKAT DAN DASAR HUKUMNYA DI INDONESIA

Authors

  • Rahmah Marsinah Universitas Ibnu Chaldun

Keywords:

Perkawinan Campuran, Masyarakat, Dan Agama, Intermarriage, society, and religion

Abstract

Di Indonesia berlaku aneka ragam hukum perkawinan hukum perkawinan yang berlaku sebelum undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Disamping ini untuk perkawinan orangorang di Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berbeda, berlaku peraturan perkawinan campuran yang ditetapkan melalui beslit kerjaan 29 Desember 1986 no. 23 stb 1989 no. 158. Nama asli dari peraturan ini adalah Regeling Op De Gemengde Huwejijken,sering disingkat dengan GHR. Pada penghujung akhir tahun 1973 dan awal 1974 terjadi peristiwa besar di bidang hukum di Indonesia. Pada tanggal 2 Januari 1974 disahkan undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini merupakan hasil legislatif pertama yang memberikan gambaran nyata kebenaran dasar azasi kejiwaan dan kebudayaan Bhineka Tunggal Ika sekaligus merupakan suatu unifikasi yang unik dengan tetap menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berdesarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Unifikasi demikian bertujuan untuk memperlengkapi segala hal yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan itu, karenanya dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan perkembanga masyarakat dan tuntutan zaman. Dengan berlakunya undangundang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini, terjadilah pergeseran, perubahan, dan pengganti terhadap ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan perundangan yang berkaitan dengan perkawinan. Tujuan tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum peraturan perkawinan campuran (ghr s. 1898 no. 158 ) setelah berlakunya undang-undang no. 1 tahun 1974. Selain itu tulisan ini akan mengungkap sikap, perilaku masyarakat dalam menanggapi peraturan tersebut. Pendekatan, dalam mencari jawaban terhadap pertanyaan pertama dilakukan normatif, sedang terhadap pertanyaan kedua dilakukan pendekatan empiris. Keduanya bersumber data sekunder dan perpustakaan.
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa perkawinan campuran jenis perkawinan antar agama masih dipersoalkan apakah terangkat dari peraturan perkawinan campuran (ghr s. 1898 no. 158 dan menyatu dengan perkawinan campuran pasal 57 undang-undang no.1 tahun 1974. Kalau sekiranya tidak terangkat, maka perkawinan antar agama merupakan salah satu bentuk keberlakuan peraturan perkawinan campuran. Tata cara perkawinan campuran sebagai tertuang dalam pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) tidak tertampung dalam undang-undang no. 1 tahun 1974. Sehingga pasal tersebut masih berlaku dan merupakan bentuk keberlakuan peraturan perkawinan campuran yang lain. Pelaksanaan perkawinan antar agama banyak terjadi di masyarakat, dengan tidak disadari apakah dalam rangka melaksanakan pasal 57 undang-undang no. I tahun 1974 atau pasal 1 peraturan perkawinan campuran

 

In Indonesia, various marriage laws apply, marriage laws that were in force before law no. 1 of 1974 concerning marriage. In addition to this, for marriages of people in Indonesia who are subject to different laws, mixed marriage regulations are applicable through the work decree of December 29, 1986 no. 23 stb 1989 no. 158. The original name of this regulation was Regeling Op De Gemengde Huwejijken, often abbreviated as GHR. At the end of late 1973 and early 1974 there was a major event in the field of law in Indonesia. On January 2, 1974, law no. 1 of 1974 on marriage was passed. This law is the first legislative result that provides a real picture of the basic truth of the psychological and cultural principles of Bhineka Tunggal Ika as well as a unique unification while still fully respecting variations based on religion and belief based on the Supreme Godhead.
Such unification aims to equip everything that is not regulated by law in the religion or belief, therefore in that case the state has the right to regulate itself in accordance with the development of society and the demands of the times. With the enactment of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, there has been a shift, change, and replacement of the provisions contained in the laws and regulations relating to marriage. The purpose of this paper aims to determine the legal position of mixed marriage regulations (ghr s. 1898 no. 158) after the enactment of law no. 1 of 1974. In addition, this paper will reveal the attitude, behavior of the community in responding to the regulation. The approach, in finding answers to the first question is normative, while the second question is carried out empirical approach. Both are secondary data sources and libraries.
The conclusion of this study is that mixed marriages of interfaith marriage are still questioned whether they are lifted from the regulation of mixed marriage (ghr s. 1898 no. 158 and merged with mixed marriage article 57 of law no. 1 of 1974. If it is not raised, then interfaith marriage is one form of enforceability of mixed marriage regulations. The procedure for mixed marriage as stipulated in article 6 paragraphs (1), (2), (3), (4) and (5) is not accommodated in Law No. 1 of 1974. So that the article is still valid and is a form of enforceability of other mixed marriage regulations. The implementation of interfaith marriages occurs a lot in the community, with it not being realized whether in order to implement article 57 of Law no. I of 1974 or article 1 of the mixed marriage regulation

Downloads

Published

2023-06-01